I.
KEKUASAAN
A.
Definisi kekuasaan
Menurut Robbins (2008) kekuasaan (power) mengacu pada kemampuan yang dimiliki A
untuk mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A. Kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah
lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu
menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan
itu (budiardjo, 1972).
B.Sumber-Sumber
Kekuasaan
Adapun sumber kekuasaan menurut French
& Raven ada 5 kategori yaitu;
1).
Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
Kekuasaan imbalan seringkali dilawankan dengan kekuasaan paksaan, yaitu
kekuasaan untuk menghukum.Hukuman adalah segala konsekuensi tindakan yang
dirasakan tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya.Pemberian hukuman
kepada seseorang dimaksudkan juga untuk memodifikasi perilaku, menghukum perilaku
yang tidak baik/merugikan organisasi dengan maksud agar berubah menjadi
perilaku yang bermanfaat. Para manajer menggunakan kekuasaan jenis ini agar
para pengikutnya patuh pada perintah karena takut pada konsekuensi tidak
menyenangkan yang mungkin akan diterimanya. Jenis hukuman dapat berupa
pembatalan pemberikan konsekwensi tindakan yang menyenangkan; misalnya
pembatalan promosi, pembatalan bonus; maupun pelaksanaan hukuman seperti skors,
PHK, potong gaji, teguran di muka umum, dan sebagainya.
Meskipun hukuman
mungkin mengakibatkan dampak sampingan yang tidak diharapkan, misalnya perasaan
dendam, tetapi hukuman adalah bentuk kekuasaan paksaan yang masih digunakan
untuk memperoleh kepatuhan atau memperbaiki prestasi yang tidak produktif dalam
organisasi.
2). Kekuasaan Imbalan (Insentif Power)
Kemampuan seseorang untuk memberikan imbalan kepada orang lain (pengikutnya)
karena kepatuhan mereka. Kekuasaan imbalan digunakan untuk mendukung kekuasaan
legitimasi. Jika seseorang memandang bahwa imbalan, baik imbalan ekstrinsik
maupun imbalan intrinsik, yang ditawarkan seseorang atau organisasi yang
mungkin sekali akan diterimanya, mereka akan tanggap terhadap perintah.
Penggunaan kekuasaan imbalan ini amat erat sekali kaitannya dengan teknik memodifikasi
perilaku dengan menggunakan imbalan sebagai faktor pengaruh.
3). Kekuasaan Sah (Legitimate Power)
3). Kekuasaan Sah (Legitimate Power)
Kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain karena posisinya. Seorang
yang tingkatannya lebih tinggi memiliki kekuasaan atas pihak yang berkedudukan
lebih rendah. Dalam teori, orang yang mempunyai kedudukan sederajat dalam
organisasi, misalnya sesama manajer, mempunyai kekuasaan legitimasi yang
sederajat pula. Kesuksesan penggunaan kekuasaan legitimasi ini sangat
dipengaruhi oleh bakat seseorang mengembangkan seni aplikasi kekuasaan
tersebut.Kekuasaan legitimasi sangat serupa dengan wewenang. Selain seni
pemegang kekuasaan, para bawahan memainkan peranan penting dalam pelaksanaan
penggunaan legitimasi. Jika bawahan memandang penggunaan kekuasaan tersebut
sah, artinya sesuai dengan hak-hak yang melekat, mereka akan patuh. Tetapi jika
dipandang penggunaan kekuasaan tersebut tldak sah, mereka mungkin sekali akan
membangkang. Batas-batas kekuasaan ini akan sangat tergantung pada budaya, kebiasaan
dan sistem nilai yang berlaku dalam organisasi yang bersangkutan.
4). Kekuasaan Pakar (Expert Power)
4). Kekuasaan Pakar (Expert Power)
Seseorang mempunyai kekuasaan ahli jika ia memiliki keahlian khusus yang
dinilai tinggi. Seseorang yang memiliki keahlian teknis, administratif, atau
keahlian yang lain dinilai mempunyai kekuasaan, walaupun kedudukan mereka
rendah. Semakin sulit mencari pengganti orang yang bersangkutan, semakin besar
kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan ini adalah suatu karakteristik pribadi,
sedangkan kekuasaan legitimasi, imbalan, dan paksaan sebagian besar ditentukan
oleh organisasi, karena posisi
yang didudukinya.
Contohnya; Pasien-pasien dirumah sakit menganggap dokter sebagai pemimpin atau panutan karena dokterlah uang dianggap paling ahli untuk menyembuhkan penyakit
5). Kekuasaan Rujukan (Referent Power)
Contohnya; Pasien-pasien dirumah sakit menganggap dokter sebagai pemimpin atau panutan karena dokterlah uang dianggap paling ahli untuk menyembuhkan penyakit
5). Kekuasaan Rujukan (Referent Power)
Banyak individu yang menyatukan diri dengan atau dipengaruhi oleh seseorang
karena gaya kepribadian atau perilaku orang yang bersangkutan. Karisma orang
yang bersangkutan adalah basis kekuasaan panutan. Seseorang yang berkarisma ;
misalnya seorang manajer ahli, penyanyi, politikus, olahragawan; dikagumi
karena karakteristiknya. Pemimpin karismatik bukan hanya percaya pada keyakinan
– keyakinannya sendiri (factor atribusi), melainkan juga merasa bahwa ia
mempunyai tujuan-tujuan luhur abadi yang supernatural (lebih jauh dari alam
nyata). Para pengikutnya, di sisi lain, tidak hanya percaya dan menghargai sang
pemimpin, tetapi juga mengidolakan dan memujanya sebagai manusia atau pahlawan yang
berkekuatan gaib atau tokoh spiritual (factor konsekuensi). Jadi, pemimpin
kharismatik berfungsi sebagai katalisator dari psikodinamika yang terjadi dalam
diri para pengikutnya seperti dalam proses proyeksi, represi, dan regresi yang
pada gilirannya semakin dikuatkan dalam proses kebersamaan dalam kelompok.
Dalam masa puncaknya, Bung Karno misalnya; diberi gelar paduka yang mulia,
Panglima Besar ABRI, Presiden seumur hidup, petani agung, pramuka agung, dan
berbagai gelar yang lainnya.
II.
LEADERSHIP
A. Definisi Kepemimpinan
Sarros dan Butchatsky
(1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of
influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of
individual as well as the organization or common good". Menurut definisi
tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan
tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai
tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.
B. Kepemimpinan Partisipasif terdiri dari :
1. Teori X dan Teori Y
Teori ini diungkapkan oleh Douglas McGregor yang mengemukakan strategi
kepemimpinan efektif dengan menggunakan konsep manajemen partisipasi.Konsep
terkenal dengan menggunakan asumsi-asumsi sifat dasar manusia. Pemimpin yang
menyukai teori X cenderung menyukai gaya kepemimpinan otoriter dan sebaliknya,
seorang pemimpin yang
menyukai teori Y lebih menyukai gaya kepemimpinan demokratik.
Untuk kriteria karyawan yang memiliki tipe teori X adalah karyawan dengan sifat
yang tidak akan bekerja tanpa perintah, sebaliknya karyawan yang
memiliki tipe teori Y akan bekerja dengan sendirinya tanpa perintah atau
pengawasan dari atasannya. Tipe Y ini adalah tipe yang sudah menyadari tugas
dan tanggung jawab pekerjaannya.
2. Teori Empat Sistem
Teori Empat Sistem (bahasa Inggris: Four Systems Theory) adalah salah
satu teori
komunikasi yang mengkaji hubungan antar manusia melalui hasil
dari produksinya dilihat dari kacamata manajemen.
Rensis
Linkert dari Universitas Michighan mengembangkan model peniti
penyambung (linking pin model) yang menggambarkan struktur organisasi. Menurut
Luthans (1973) struktur peniti penyambung ini cenderung menekankan dan
memudahkan apa yang seharusnya terjadi dalam struktur klasik yang birokratik.
Ciri organisasi berstruktur peniti penyambung adalah lambatnya tindakan
kelompok, hal ini harus diimbangi dengan memanfaatkan partisipasi yang positif.
Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baik maka
operasional organisasi akan membaik.
Fungsi-fungsi manajemen berlangsung
dalam empat sistem:
1. Sistem Pertama: Sistem otokratis
eksploratif yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan
dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki
kepercayaan terhadap bawahan dan bawahan tidak memiliki kewenangan untuk
mendiskusikan pekerjaannya dengan atasan. Akibat dari konsep ini adalah
ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak selesai. Proses komunikasi lebih
banyak dari atas kebawah.
2. Sistem Kedua: Sistem otokratis
paternalistic yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitif
terhadap kebutuhan karyawan. Manajemen berkenan untuk percaya pada bawahan
dalam hubungan atasan dan bawahan, keputusan ada di atas namun ada kesempatan
bagi bawahan untuk turut memberikan masukan atas keputusan itu.
3. Sistem Ketiga: Sistem konsultatif
dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan. Disini karyawan bebas
berhubungan dan berdiskusi dengan atasan dan interaksi antara pimpinan dan
karyawan nyata. Keputusan di tangan atasan, namun karyawan memiliki andil dalam
keputusan tersebut.
4. Sistem Keempat: Sistem partisipan
dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen
percaya sepenuhnya pada bawahan dan mereka dapat membuat keputusan. Alur
informasi keatas, kebawah, dan menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya
diterima, jika tidak dapat dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara
karyawan dan manajer. Interaksi dalam sistem terbangun, komunikasi keatas
umumnya akurat dan manajer menanggapi umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja
dikembangkan dengan partisipasi yang kuat dalam pengambilan keputusan,
penetapan goal setting (tujuan) dan penilaian .
Teori empat sistem ini
menarik karena dengan penekanan pada perencanaan dan pengendalian teori ini
menjadi landasan baik untuk teori posisional dan teori hubungan antar pribadi.
3. Theory Of Leadership
Pattern Choice (Tannenbaum dan Schmidt)
Tujuh “pola kepemimpinan” yang diidentifikasi oleh Tannenbaum dan Schmidt. Pola
kepemimpinan ditandai dengan angka-angka di bagian bawah diagram ini mirip
dengan gaya kepemimpinan, tetapi definisi dari masing-masing terkait dengan
proses pengambilan keputusan. Demokrasi (hubungan berorientasi) pola
kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh bawahan. Otoriter
(tugas berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang
oleh pemimpin.Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan
meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pemimpin berkurang secara
proporsional.
Kepemimpinan Pola 1: “Pemimpin
izin bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan oleh superior.”
Contoh: Pemimpin memungkinkan anggota tim untuk memutuskan kapan dan seberapa
sering untuk bertemu.
Kepemimpinan Pola 2:
“Pemimpin mendefinisikan batas-batas, dan meminta kelompok untuk membuat
keputusan.” Contoh: Pemimpin mengatakan bahwa anggota tim harus memenuhi
setidaknya sekali seminggu, tetapi tim bisa memutuskan mana hari adalah yang
terbaik.
Kepemimpinan Pola 3:
“Pemimpin menyajikan masalah, mendapat kelompok menunjukkan, maka pemimpin
membuat keputusan.” Contoh: Pemimpin meminta tim untuk menyarankan hari-hari
baik untuk bertemu, maka pemimpin memutuskan hari apa tim akan bertemu.
Kepemimpinan Pola 4:
“Pemimpin tentatif menyajikan keputusan untuk kelompok. Keputusan dapat berubah
oleh kelompok.” Contoh: Pemimpin kelompok bertanya apakah hari Rabu akan
menjadi hari yang baik untuk bertemu. Tim menyarankan hari-hari lain yang
mungkin lebih baik.
Kepemimpinan Pola 5:
“Pemimpin menyajikan ide-ide dan mengundang pertanyaan.” Contoh: Pemimpin tim
mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan membuat hari Rabu untuk pertemuan
tim. Pemimpin kemudian meminta kelompok jika mereka memiliki pertanyaan.
Kepemimpinan Pola 6:
“Para pemimpin membuat keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan
yang benar.” Contoh: Pemimpin mengatakan kepada anggota tim bahwa mereka akan
bertemu pada hari Rabu. Pemimpin kemudian meyakinkan anggota tim bahwa Rabu
adalah hari-hari terbaik untuk bertemu.
Kepemimpinan Pola 7:
“Para pemimpin membuat keputusan dan mengumumkan ke grup.” Contoh: Pemimpin
memutuskan bahwa tim akan bertemu pada hari Rabu apakah mereka suka atau tidak,
dan mengatakan bahwa berita itu kepada tim.
C. MODEL
KEPEMIMPINAN NORMATIF MENURUT VROOM DAN YETTON (Normative Theory: Decision Making
and Leader Effectiveness: Vroom & Yetton, 1973)
Vroom dan Yetton (1973)
mengembangkan model kepemimpinan normatif dalam 3 kunci utama: metode taksonomi
kepemimpinan, atribut-atribut permasalahan, dan pohon keputusan (decision
tree). 5 tipe kunci metode kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom &
Yetton, 1973):
1. Autocratic I: membuat keputusan
dengan menggunakan informasi yang saat ini terdapat pada pemimpin.
2. Autocratic II: membuat keputusan
dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh anggota kelompok tanpa
terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian informasi yang mereka
berikan.
3. Consultative I: berbagi akan masalah
yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui ide-ide dan saran mereka
tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu membuat keputusan.
4. Consultative II: berbagi masalah
dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat diskusi kelompok
berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.
5. Group II: berbagi masalah yang ada
dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok, serta menerima dan menerapkan
keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.
D. TEORI KEPEMIMPINAN CONTINGENCY
FIEDLER
(Matching Leaders and Tasks)
Fiddler mendefinisikan
efektivitas pemimpin dalam hal performa grup dalam mencapai tujuannya. Fiddler
membagi tipe pemimpin menjadi 2: yang berorientasi pada tugas dan yang
berorientasi pada maintenance. Dari observasi ini ditemukan fakta bahwa tidak
ada korelasi konsisten antara efektifitas grup dan perilaku kepemimpinan.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas
akan efektif pada 2 set kondisi:
Pada set yang pertama,
pemimpin ini sangat memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang
didelegasikan pada anggota sangat terstruktur dengan baik, dan memiliki posisi
yang tinggi dengan otoritas yang tinggi juga. Pada keadaan ini, grup sangat
termotivasi melakukan tugasnya dan bersedia melakukan tugas yang diberikan
dengan sebaik-baiknya.
Pada set yang kedua,
pemimpin ini tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang
diberikan tidak jelas, dan memiliki posisi dan otoritas yang rendah. Dalam
kondisi semacam ini, pemimpin mempunyai kemungkinan untuk mengambil alih
tanggung jawab dalam mengambil keputusan, dan mengarahkan anggotanya.
Kepemimpinan tidak akan
terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba
melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi2
yg spesifik.Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang
berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada
satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun,
sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi
dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi
teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang
menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach.Asumsi sentral teori ini
adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh
kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan
dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara
lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tsb harus dipertimbangkan. Fiedler
memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan
orientasi pada tugas, akan lebih efektip dibanding para pemimpin yang High LPC,
yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang
apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para
pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC
apabila kontrol situasinya moderat.
F. TEORI PATH-GOAL DALAM KEPEMIMPINAN
Teori path-goal adalah
suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang
menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan
pada inisiating structure dan consideration serta teori
pengharapan motivasi.
Menurut
teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan
pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat
itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang
(1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang
efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang
diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).
Model
kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan
dalam berbagai situasi.Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena
pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan
kepuasan pengikutnya.Teorinya disebut sebagai path-goal karena
memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada
tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan
bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan
menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai
hasil yang mereka inginkan.Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan
bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha
dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal
attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat
adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil
yang mereka capai dengan nilai tinggi.
Model path-goal juga
mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu
bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua
fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi
kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya
dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan
tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah
meningkatkan jumlah hasil (reward)bawahannya dengan memberi dukungan dan
perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk
fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan.
Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam
model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003) :
1. Instrumental
(directive) Instrumental (directive): suatu pendekatan yang berfokus pada
penyediaan bimbingan tertentu, menetapkan jadwal kerja dan aturan. Pemimpinan
memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan
jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan
bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas
tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan
pengawasan
2. Supportive Mendukung:
sebuah gaya terfokus pada membangun hubungan baik dengan bawahan dan memuaskan
kebutuhan mereka. Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan
kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan
tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai
usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di
antara anggota kelompok. Kepemimpinan
pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja
bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. Participative Partisipatif:
suatu pola di mana pemimpin berkonsultasi dengan bawahan, memungkinkan mereka
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pemimpin partisipatif berkonsultasi
dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil
suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja
bawahan
4. Achievement-oriented Prestasi
berorientasi: suatu pendekatan di mana pemimpin menetapkan tujuan yang
menantang dan mencari perbaikan dalam kinerja. Gaya kepemimpinan dimana
pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk
berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan
prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Terdapat dua faktor
situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal,
yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures
and demmand (Gibson, 2003).
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional
ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin
akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut
akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu
instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup
tiga hal, yakni:
a)
Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan
dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil.Individu yang
mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang
mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri.Sedangkan
mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka
peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang
internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative,
sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
b)
Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk
menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang
tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya
kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang
tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan
partisipatif.
c)
Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan
pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil
dengan pemimpin yang berorientasi
prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan
sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin
yangsupportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka.
Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya
kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai
kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2. Karakteristik Lingkungan
pada faktor situasional
ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor
motivasi terhadap para bawahan, jika:
a)
Perilaku tersebut akan memuaskan
kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam
pelaksanaan kerja.
b)
Perilaku tersebut merupakan komplimen
dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan
penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari
tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas, Struktur kerja yang
tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal, Kepemimpinan yang
direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi
dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja, Kelompok kerja dengan
tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Dengan menggunakan salah satu dari empat
gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan
tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para
karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan
cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan
kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.